Rabu, 18 Agustus 2010

MENJADI FILANTROPIS BERKELANJUTAN

Lika-liku Filantropi Menjadi Filantrop Berkelanjutan

Lika-liku Filantropi Menjadi Filantrop Berkelanjutan
Kamis, 06 April 2006
Oleh : Teguh S. Pambudi

Filantropi yang baik tidaklah mengembangkan parasitisme, tapi menumbuhkan kemandirian, meningkatkan martabat dan harga diri. Agar filantropi berkelanjutan, kuncinya adalah menciptakan kedermawanan yang terorganisasi dan profesional.
Judul di atas memang terilhami ide pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang memikirkan keberlanjutan generasi berikutnya. Maksud judul ini pun amat sederhana: menciptakan para filantrop yang tidak sesaat, tapi berkesinambungan. Asumsinya, selain pengertian filantrop itu sendiri begitu luhur (philos berarti cinta, antropos adalah manusia), juga lantaran banyak hal di negeri ini yang tak bisa ditunaikan dengan elegan oleh negara dan para penyelenggaranya; pengangguran; kemiskinan; kelaparan; dan problem memilukan lain di segala dimensi kehidupan.

Dengan menjadi filantrop yang berkelanjutan, diharapkan program atau aktivitas cinta manusia ini akan terus berlangsung sekalipun sang filantrop tiada. Juga, bakal melahirkan dan mengundang munculnya para filantrop baru. Dan terpenting, seperti dikatakan Eka Budianta, pengamat filantropi yang juga Advisor Direktur Utama Jababeka di Cikarang, “Membuat yang dibantu menjadi dewasa, kuat dan merdeka.”

Lantas, bagaimana caranya untuk menjadi filantrop yang berkelanjutan itu? Bagi Eka, hal pertama yang mesti disadari adalah kegiatan filantropi sangat tak terbatas. “Banyak hal, bisa cinta kebudayaan, kesehatan, lingkungan hidup, memberantas kemiskinan, memajukan ilmu pengetahuan, meningkatkan pendidikan. Bukan sebatas membangun rumah ibadah, tapi juga memperindah laut, menyegarkan udara, bahkan melindungi hewan dan tumbuhan,” ia memaparkan. Sayangnya, Eka yang juga seorang botanis ini menilai banyak kegiatan yang justru masih terbatas pada kegiatan amal jariah bermotif agama.

“Itu saya katakan sebagai kegiatan beli paspor ke surga. Jadi dia menabung untuk kehidupan di akhirat agar masuk surga,” ujar Elan Merdy, COO Sampoerna Foundation merangkap Presiden Associaton Fundraising Professional, Indonesia Chapter. Sebagaimana Eka, kelahiran Palembang 1970, ini melihat sebagian besar kegiatan filantropi masih menyumbang untuk kegiatan keagamaan, seperti membangun tempat ibadah dan panti asuhan, serta zakat. “Yang kurang di Indonesia adalah kegiatan yang tidak berkaitan dengan agama. Semisal menyumbang untuk kegiatan pendidikan, kegiatan kampanye penanggulangan AIDS, memberikan beasiswa kepada orang yang tidak mereka kenal,” ia menandaskan.

Mengetahui betapa luasnya kegiatan filantropi bisa dilakukan, merupakan hal mendasar. Namun, itu jelas tidaklah memadai untuk menjadi filantrop yang berkelanjutan. Yang berikutnya, tandas Eka, adalah mengetahui isu mendasar dari suatu masalah yang ingin dibantu. “Misalnya jika ingin membersihkan Sungai Ciliwung, tentunya selain mengeruknya juga harus memberi advokasi agar masyarakat di sekitar tidak membuang sampah ke sungai. Dengan begitu sungai bisa terus bersih karena permasalahan mendasar teratasi,” ia menegaskan.

Dalam bahasa lain, timpal Hamid Abidin, dalam melakukan kegiatan, seorang filantrop harus berupaya turut mengatasi akar permasalahannya. “Seperti Yayasan Sampoerna yang tidak hanya memberi beasiswa tapi juga memperbaiki kualitas guru yang menjadi akar persoalan pendidikan di Indonesia. Mereka ini tidak terjebak mengatasi gejala saja,” ujar Hamid, Peneliti/Program Officer penguatan filantropi dan penguatan organisasi masyarakat sipil Public Interest Research and Advocacy Center.

dikutip dari www.ciel-sbm-itb.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar